Selasa, 10 April 2012

Peran Kader GP Ansor Dalam Melestarikan Karakter Kebangsaan


GP Ansor Lampung Tengah
Peran Kader GP Ansor Dalam Melestarikan Karakter Kebangsaan
Oleh : Irvanuddin

A.    Pendahuluan
Irvanuddin
Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri tanpa melakukan interaksi dengan individu lainnya. Pada hakikatnya setiap individu tidak ada yang sempurna, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan tersebut akan terpenuhi manakala melakukan interaksi sosial.
Dalam melakukan interaksi sosial, seluruh anggota masyarakat menciptakan suatu sistem nilai dan norma. Sistem nilai dan norma tersebut berfungsi sebagai acuan/pedoman dalam melakukan segala aktivitas di masyarakat. Begitu juga dengan para kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mana tanpa adanya norma, para kader NU cenderung melakukan peran sosial semaunya sendiri. Hal tersebut akan berdampak timbulnya ketidakseimbangan sosial. Sistem norma yang telah ada tidak serta merta akan membentuk para kader yang tertib, seimbang dan harmonis. Namun untuk itu diperlukan adanya “kesadaran sosial bagi seluruh anggota Kader Nahdlatul Ulama (NU)”. Dalam hal ini para kader Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) adalah sebuah organisasi kemasyaratan pemuda di Indonesia, yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 April 1934. GP Ansor juga mengelola Barisan Ansor Serbaguna (Banser). GP Ansor merupakan salah satu organisasi terbesar dan memiliki jaringan terluas di Indonesia, dimana memiliki akar hingga tingkat desa.
Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Barisan Ansor Serbaguna sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan penjajahan dan penumpasan G30S, peran Ansor sangat menonjol.
Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi ‘’konflik'’ internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dalam hal ini, organisasi kepemudaan islam yang berkarakter.
Pembangunan karakter (character building) semakin menemukan momentumnya belakangan ini, bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional. “Upaya ke arah pembangunan karakter tersebut dilandasi oleh kondisi karakter manusia umumnya dewasa ini, sejak dari level internasional sampai kepada tingkat personal individual, khususnya bangsa kita, kelihatan mengalami berbagai disorientasi dan kemerosotan[1]. Karena itu, harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Karena itu, kebijakan Mendiknas mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Sekarang ini dari hari ke hari kita menyaksikan semakin meningkatnya penyimpangan moral dan akhlak pada berbagai kalangan masyarakat, termasuk di dalamnya para kader GP Ansor. Serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia telah menggiring mereka (Kader GP Ansor) memiliki gaya hidup hedonistik, materialistik sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia. Ada kecenderungan, Kader GP Ansor tidak mampu melawan arus “gaya” yang menempel bersama modernisasi ini. Akibatnya, tidak heran kita menyaksikan banyak sesama organisasi kepemudaan yang terlibat dalam tawuran, kekerasan senior atas yunior, penggunaan obat-obat terlarang, tindakan asusila, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya. Celakanya, berbagai bentuk pelanggaran itu dengan segera dan instan menyebar melalui media komunikasi instan pula seperti internet, HP, dan semacamnya.

B.     Pengertian Karakter “Charakter”
Karakter berasal dari kata Yunani charaktêr yang mengacu kepada suatu tanda yang terpatri pada sisi sebuah koin. Karakter menurut Kalidjernih lazim dipahami sebagai kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau tindakan yang dapat dievaluasi dalam berbagai situasi. “Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain”[2]. Disebut watak jika telah berlangsung dan melekat pada diri seseorang.
Secara psikologis dan socio-cultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi social kultural (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan socio-cultural tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan menghasilkan karakter jujur dan bertanggung jawab. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan sikap bersih, sehat, dan menarik. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan menghasilkan kepedulian dan kreatifitas.
Bagi suatu bangsa, karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga negara dan kemudian mengejawantah sebagai personalitas dan identitas kolektif bangsa. Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Manusia Indonesia yang berkarakter kuat adalah manusia yang memiliki sifat-sifat: religious, moderat, cerdas, dan mandiri.
1.      Religius: yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran.
2.      Moderat : yang dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan.
3.      Cerdas : yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju.
4.      Mandiri : yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.

C.    Dampak Globalisasi Dan Perkembangan Teknologi Terhadap Kader GP Ansor
Globalisasi dan teknologi telah membuat dunia semakin terbuka akan berbagai informasi dalam waktu yang sangat singkat, karena globalisasi akan memicu perubahan pada tatanan kehidupan sesuai dengan karakteristiknya. Tentunya strategi dan implementasi yang tepat dalam merespon tantangan menjadi sangat penting. Salah satu unsur pembangunan tersebut yakni sumberdaya manusia, disamping Indonesia memiliki sumberdaya alam yang tak terukur.
Saat ini, terjadi krisis karakter dengan melihat bentuk yang sangat jelas. Hal ini bisa terlihat dari korupsi yang makin menggeliat, baik terlihat dengan kasat mata maupun sembunyi, perekonomian yang kembang kempis, konflik horizontal, kekerasan atas nama agama, karakter anarki, dsb. Proses pelemahan ini terjadi karena rapuhnya sebagai bangsa yang berkarakter dan tidak mengindahkan nilai-nilai. “GP Ansor memiliki peran penting untuk membangun karakter yang sudah mulai rapuh ini”. Kita perlu SDM unggul untuk menjadi obat penawar bagi bangsa Indonesia.
Rasa dan semangat kebangsaan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan, karena satu sama lain saling berhubungan. Manifestasinya adalah muncul rasa cinta tanah air dan semangat solidaritas yang tinggi. “Memang tak mudah untuk membangun hal itu, namun saat ini pendidikan tersebut benar-benar dibutuhkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas”.
Kader GP Ansor diharapkan mampu menjadi pelopor utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. GP Ansor lahir bukan karena partai dan penguasa, melainkan karena ada semacam kegelisahan dan aksi protes terhadap kondisi negeri yang tidak kunjung sembuh. Sebagai organisasi yang dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) , GP Ansor diharapkan mampu berperan dalam pembentukan masyarakat yang kritis terhadap zaman, korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di masyarakat, dan sikap konstruktif untuk memperbaiki keadaan sebagai jalan lain dari kemunduran. “Itulah pendidikan yang harus deimplementasikan sesungguh-sungguhnya.

D.    Fungsi Kader GP Ansor Dalam Pengembangan Karakter Kebangsaan
Fungsi pengembangan keterampilan organisasi dan kepemimpinan pemuda merupakan hal yang penting. Hal ini disebabkan pemuda, selain calon penerus dan penyempurna misi risalah Ilahiah, juga calon pemimpin bangsa di masa depan. Menurut Hasan Al-Banna, perbaikan suatu umat tidak akan terwujud kecuali dengan perbaikan individu, yang dalam hal ini adalah pemuda. Perbaikan individu (pemuda) tidak akan sukses kecuali dengan perbaikan jiwa. Perbaikan jiwa tidak akan berhasil kecuali dengan pendidikan dan pembinaan. Yang dimaksud dengan pembinaan adalah membangun dan mengisi akal dengan ilmu yang berguna, mengarahkan hati lewat do’a, serta memompa dan menggiatkan jiwa lewat instropeksi diri.
Persoalan yang dianggap urgen dari kehidupan kader adalah ketika mereka harus menghadapi globalisasi yang ditandai dengan tuntutan demokratisasi dan persaingan. Demokrasi menjadi salah satu tuntutan masyarakat dunia, sebab demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan rasional terbaik. Tuntutan terhadap demokratisasi di Indonesia juga semakin menguat semenjak reformasi. Tuntutan kebebasan berpendapat, penegakan hukum, perlindungan terhadap HAM, keterbukaan, merupakan indikator dari demokrasi. Oleh karena itu sebagai calon pemimpin, kader GP Ansor dituntut untuk lebih memahami, dan sekaligus mampu menjalankan prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Meskipun gerakan reformasi tahun 1998 dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa, belum semua pemuda paham tentang demokrasi. Berbagai konflik antar mereka pada saat pemilihan pimpinan organisasi, demontrasi yang berujung pada tindakan yang anarkis mengindikasikan bahwa belum semua pemuda paham tentang demokrasi. Berdasarkan pada kondisi tersebut, salah satu  pendidikan karakter yang harus dikembangkan di kalangan GP Ansor adalah membangun karakter pemimpin melalui pelatihan-pelatihan secara rutin atau berskala. Pendidikan karakter pemimpin tersebut ditujukan kepada para elit-elit pemuda yang menjadi pengurus organisasi kepemudaan.
Pelatihan-pelatihan yang bermutu dan berkwalitas, diharapkan mampu menambah wawasan mengenai prinsip dan karakter kepemimpinan bagi para kader GP Ansor, sehingga diharapkan kedepan mereka bisa menjadi pemimpin-pemimpin yang cerdas, bijak, dan sederhana. Sebagai implementasi dari nilai-nilai karakter yang telah diperoleh dari materi-materi yang telah diberikan.
Menurut hemat saya, para pimpinan GP Ansor diharapkan mampu menjadi contoh “Suri Tauladan” atau model bagi kader Kader GP Ansor yang lainnya. Dengan demikian, selain ada pengendalian diri agar berbuat yang lebih baik, mereka juga dicontoh oleh kader GP Ansor yang lain. Dengan faktor internal dan eksternal inilah mereka akan menampilkan karakter sebagai kader GP Ansor yang cerdas, jujur, bertangggungjawab, dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan maupun sahabat atau rekanya. Sebagai bentuk apresiasi, penghargaaan dan sekaligus motivasi kepada para kader GP Ansor.

E.     Membangun Karakter Kader GP Ansor Yang Berefleksi Dan Bercerdas
Membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. “Proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant”[3]. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seorang kader GP Ansor.
Kader GP Ansor itu harus berfikir dan berbuat berdasarkan kausalitas, melihat sebab akibat suatu peristiwa, sehingga tepat dalam menentukan atau memberikan pernyataan. Berfikir dan bertindak kausalitas, itulah yang dikatakan positive thinking. Positive thinking itu adalah cirinya manusia intelek. Kemudian dari positive thinking itu manusia berbuat dengan terencana, terarah dan efesien.
Terbentuknya karakter manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (melalui sosialisasi dan pendidikan). Faktor lingkungan yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi dapat menentukan ”hasil” seperti apa nanti yang dihasilkannya dari seorang anak. Jadi karakter seseorang atau individu kader GP Ansor dapat dibentuk dari pengasuhan, pendidikan, dan sosialisasi positif dari lingkungannya. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Setiap individu tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda. Perbedaan karakter individu tersebut disebababkan oleh banyak hal, seperti lingkungan, biologis individu, polah asuh, budaya, dan lain sebagainya. Nurture dan nature merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan.
Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar kita (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan). Helen Keller (1904) mengungkapkan “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”. Sehingga dengan karakter yang telah dibangun dengan kokoh, bisa menjadikan seorang individu tidak mudah dikuasai oleh seseorang ataupun kondisi tertentu.

F.     Peran Kader GP Ansor Dalam Mengembangkan Karakter Kebangsaan
Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas sosial, politik dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis dalam setiap episode sejarah perjalan bangsa dan tetap menempati posisi dan peran yang stategis dalm setiap pergantian kepemimpinan nasional.
Penghujung tahun 1960-an adalah merupakan dari babakan sejarah perjalanan panjang rezim Orde Baru. Sebuah rezim yang runtuh dipenghujung abad 20 lalu, terutama disaat munculnya tuntutan reformasi.
GP Ansor merupakan salah satu organisasi pemuda yang ikut berperan dalam menurunkan rezim Orde Baru. Sehingga puncak klimaknya pada penghujung abad 20, rezim Orde Baru dapat dilengserkan. Setelah turunya rezim Orde Baru, maka menjadi sangat urgen untuk membenahi tata pemerintahan serta perlunya pembentukan karakter kebangsaan.
Pembangunan karakter membentuk peradaban unggul jelas merupakan tanggung jawab semua pihak. Dalam hal ini, pihak keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah, dan tentu saja juga berbagai organisasi kemasyarakatan, termasuk gerakan dan organisasi kepemudaan”[4]. Meskipun organisasi kepemudaan bukanlah satu-satunya institusi dalam pembangunan karakter, tetapi menurut hemat saya (gerakan) Pemuda sebagai kelas menengah yang terdidik memiliki keberpihakan yang jelas, intelektualitas yang mumpuni, dan sensitivitas yang tinggi untuk menyentuh persoalan-persoalan riil masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Kader GP Ansor dalam rangka menumbuhkan karakter yang visioner.
Pertama, perlu dilakukan penguatan peran pemuda sebagai kader GP Ansor. Kader GP Ansor perlu berefleksi tentang peran dan tugas mereka sebagai generasi penerus, tetapi harus mampu memainkan peranan penting sebagai iron stock yang melanjutkan perjalanan bangsa.
Kedua orientasi pergerakan kader GP Ansor yang mencerdaskan. Menurut hemat saya munculnya gerakan pemuda yang mewujud sebagai labeling identitas simbolik dan aktivitas “daripada tidak”, disebabkan pemuda gagal memaknai gerakan dan mendefinisikan “musuh” yang dilawan. Dan karena “tidak mau susah”, akhirnya aktivis pemuda terjebak pada aktivititas seremonial. Para Kader GP Ansor semestinya bisa memainkan perannya dalam mendorong dan mengisi aktivitas gerakan dengan basis material yang kuat, keberpihakan yang jelas, intelektualitas yang mumpuni, dan sensitivitas yang tinggi untuk menyentuh persoalan-persoalan riil masyarakat. Kualitas demikian hanya mungkin dicapai dalam sistem dan kultur aktivitas gerakan yang mencerdaskan yang memberikan ruang bagi kebebasan nalar dan pikiran serta mentalitas Kader.
Aktivitas kader GP Ansor semestinya dapat meramu berbagai programnya dengan berorientasi pada olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, dan olah rasa dan karsa. Sehingga muncul karakter kader yang jujur dan bertanggung jawab, cerdas, sikap bersih, sehat, dan menarik, serta memiliki kepedulian dan kreatifitas.
Ketiga, dalam skala yang lebih luas, GP Ansor atau Kader GP Ansor dapat menjalin kerjasama dengan berbagai institusi untuk mengakselerasikan pembentukan karakter pada berbagai segmen, lapisan, dan tingkatan masyarakat. Karena, bagaimanapun, seperti telah dikemukakan di atas, pembentukan karakter dapat sukses hanya jika seluruh komponen masyarakat dan bangsa terlibat.

G.    Gotong Royong Merupakan Karakter Bangsa Indonesia Yang Harus Dilestarikan Oleh Kader GP Ansor
Gotong Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang ini. Rasa kebersamaan ini muncul, karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini karena di negara lain tidak ada sikap ini dikarenakan saling acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya.
Ini merupakan sikap positif yang harus di lestarikan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kokoh & kuat di segala lini. Tidak hanya dipedesaan bisa kita jumpai sikap gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai dengan mudah walaupun presentasenya lebih kecil. Karena secara culture,budaya tersebut memang sudah di tanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa.
Karena ini merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari sabang hingga merauke, walaupun berbeda agama, suku & warna kulit tapi kita tetap menjadi kesatuan yang kokoh. Inilah salah satu budaya bangsa yang membuat Indonesia, di puja & puji oleh bangsa lain karena budayanya yang unik & penuh toleransi antar sesama manusia.
Membangun peradaban sebuah bangsa harus dilakukan  dengan membangun budi pekerti   serta membangkitkan semangat kebersamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh para agamawan dan tokoh-tokoh generasi pendiri NKRI. Menurut Bung Karno, Indonesia bila ingin kembali berjaya seperti Sriwijaya dan Majapahit  tidak bisa hanya dilakukan oleh satu golongan saja, tetapi harus dilakukan secara bersama oleh semua komponen bangsa dengan melibatkan  masyarakat.
Nilai-nilai dasar Pancasila sangat penting untuk selalu dimaknai kembali, karena generasi di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar yang mempersatukan Indonesia.
Indonesia merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Setelah reformasi semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partsipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
“Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan”[5].
Program pemerintah dengan bantuan beras miskin (raskin) yang  kurang tepat sasaran dan dilaksanakan tanpa sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah menjadikan alasan beberapa kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin, sedang mereka merasa miskin, akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti.
Dalam banyak peristiwa terorisme belakangan ini salah satu penyebabnya adalah tidak berjalannya pengawasan masyarakat adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong royong. Dengan kurangnya semangat gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Gotong royong adalah pola pertahanan terbaik dalam masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat komunikasi yang efektif.
Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat Indonesia sendiri. Dalam hal ini, GP Ansor sebagai Organisasi kepemudaan diharapkan mampu menanamkan prinsip kebersamaan kepada para kadernya. Sehingga dengan ditanamkanya prinsip kebersamaan, para kader GP Ansor mampu menumbuhkan semangat gotong royong terhadap sesama.
Intinya yaitu kader GP Ansor harus mampu menerapkan dan mengaplikasikan prinsip kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Melalui prinsip kebersamaan, para kader GP Ansor diharapkan mampu menjadi penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetap menjaga semangat kegotongroyongan di dalam kehidupan bermasyarakat dan berkebangsaan.

H.    Penutup
Dalam melakukan interaksi sosial, seluruh anggota masyarakat menciptakan suatu sistem nilai dan norma. Sistem nilai dan norma tersebut berfungsi sebagai acuan/pedoman dalam melakukan segala aktivitas di masyarakat. Begitu juga dengan para kader GP Ansor yang mana tanpa adanya norma, kader GP Ansor cenderung melakukan peran sosial semaunya sendiri. Hal tersebut akan berdampak timbulnya ketidakseimbangan sosial. Sistem norma yang telah ada tidak serta merta akan membentuk para kader yang tertib, seimbang dan harmonis. Namun untuk itu diperlukan adanya “kesadaran sosial bagi seluruh anggota Kader Ansor”.
Membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seorang kader GP Ansor.
GP Ansor merupakan salah satu organisasi pemuda yang ikut berperan dalam menurunkan rezim Orde Baru. Sehingga puncak klimaknya pada penghujung abad 20, rezim Orde Baru dapat dilengserkan. Setelah turunya rezim Orde Baru, maka menjadi sangat urgen untuk membenahi tata pemerintahan serta perlunya pembentukan karakter kebangsaan Khususnya bagi kader GP Ansor itu sendiri.
Karakter seseorang atau individu kader GP Ansor dapat dibentuk dari pengasuhan, pendidikan, dan sosialisasi positif dari lingkungannya. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Setiap individu tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda. Perbedaan karakter individu tersebut disebababkan oleh banyak hal, seperti lingkungan, biologis individu, polah asuh, budaya, dan lain sebagainya. Nurture dan nature merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan.
Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat Indonesia sendiri. Dalam hal ini, GP Ansor sebagai Organisasi kepemudaan diharapkan mampu menanamkan prinsip kebersamaan kepada para kadernya di dalam atau luar arena pengkaderan. Sehingga dengan ditanamkanya prinsip kebersamaan, diharapkan para kader GP Ansor mampu menumbuhkan semangat gotong royong terhadap sesama.

I.       Daftar Pustaka
1.       Kementerian Pendidikan Nasional, Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta, 2010.
2.       Dasim Budimansyah, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press, 2010, hal 30.
3.       Mubiar Purwasasmita, “Memaknai Konsep Alam Cerdas dan kearifan Nilai Budaya Lokal dalam Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam Prosiding seminar Aktualisasi Pendidikan Karakter, Bandung: Widya Aksara Press, 2010




[1]               Kementerian Pendidikan Nasional, Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta, 2010

[2]                Kamus Poerwadarminta
[3]              Dasim Budimansyah, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press, 2010, hal 30.

[4]               Mubiar Purwasasmita, “Memaknai Konsep Alam Cerdas dan kearifan Nilai Budaya Lokal dalam Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam Prosiding seminar Aktualisasi Pendidikan Karakter, Bandung: Widya Aksara Press, 2010

[5]               Masyarakat Desa Penjaga Terakhir semangat Perjuangan Gotong Royong, Abula Media.com, 2011