GP Ansor Lampung Tengah |
Peran Kader GP Ansor Dalam Melestarikan Karakter Kebangsaan
Oleh : Irvanuddin
A.
Pendahuluan
Irvanuddin |
Manusia
adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri tanpa melakukan interaksi
dengan individu lainnya. Pada hakikatnya setiap individu tidak ada yang
sempurna, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangan tersebut
akan terpenuhi manakala melakukan interaksi sosial.
Dalam
melakukan interaksi sosial, seluruh anggota masyarakat menciptakan suatu sistem
nilai dan norma. Sistem nilai dan norma tersebut berfungsi sebagai
acuan/pedoman dalam melakukan segala aktivitas di masyarakat. Begitu juga
dengan para kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mana tanpa adanya norma, para kader
NU cenderung melakukan peran sosial semaunya sendiri. Hal tersebut akan
berdampak timbulnya ketidakseimbangan sosial. Sistem norma yang telah ada tidak
serta merta akan membentuk para kader yang tertib, seimbang dan harmonis. Namun
untuk itu diperlukan adanya “kesadaran sosial bagi seluruh anggota Kader
Nahdlatul Ulama (NU)”. Dalam hal ini para kader Gerakan Pemuda Ansor (GP
Ansor).
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
adalah sebuah organisasi kemasyaratan
pemuda di Indonesia,
yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 April 1934. GP Ansor juga
mengelola Barisan Ansor Serbaguna (Banser). GP
Ansor merupakan salah satu organisasi terbesar dan memiliki jaringan terluas di
Indonesia, dimana memiliki akar hingga tingkat desa.
Kelahiran
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan,
nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam
suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pasca-Sumpah Pemuda, semangat
kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan. Karenanya, kisah Laskar
Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Barisan Ansor Serbaguna sebagai bentuk
perjuangan Ansor nyaris melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan
penjajahan dan penumpasan G30S, peran Ansor sangat menonjol.
Ansor
dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari situasi
‘’konflik'’ internal dan tuntutan kebutuhan alamiah. Berawal dari perbedaan
antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang
muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang
pendidikan Islam, pembinaan mubaligh,
dan pembinaan kader. KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional
dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang
berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi
kepemudaan Islam. Dalam hal ini, organisasi kepemudaan islam yang berkarakter.
Pembangunan karakter (character building)
semakin menemukan momentumnya belakangan ini, bahkan menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pendidikan Nasional. “Upaya ke arah pembangunan karakter
tersebut dilandasi oleh kondisi karakter manusia
umumnya dewasa ini, sejak dari level internasional sampai kepada tingkat
personal individual, khususnya bangsa kita, kelihatan mengalami berbagai
disorientasi dan kemerosotan”[1]. Karena itu, harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita
dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter
melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Karena itu,
kebijakan Mendiknas mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam
konteks ini di tanah air kita.
Sekarang ini dari hari ke
hari kita menyaksikan semakin meningkatnya penyimpangan moral dan akhlak pada berbagai kalangan masyarakat, termasuk di dalamnya para kader GP Ansor. Serbuan
globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan
nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia
telah menggiring mereka (Kader GP Ansor) memiliki gaya hidup hedonistik,
materialistik sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada
berbagai saluran TV Indonesia. Ada kecenderungan, Kader GP Ansor tidak mampu
melawan arus “gaya” yang menempel bersama modernisasi ini. Akibatnya, tidak
heran kita menyaksikan banyak sesama organisasi kepemudaan yang terlibat dalam
tawuran, kekerasan senior atas yunior, penggunaan obat-obat terlarang, tindakan
asusila, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya. Celakanya,
berbagai bentuk pelanggaran itu dengan segera dan instan menyebar melalui
media komunikasi instan pula seperti internet, HP, dan semacamnya.
B.
Pengertian Karakter “Charakter”
Karakter berasal dari kata Yunani charaktêr
yang mengacu kepada suatu tanda yang terpatri pada sisi sebuah koin. Karakter
menurut Kalidjernih lazim dipahami sebagai
kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap
individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau tindakan yang
dapat dievaluasi dalam berbagai situasi. “Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter
diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang daripada yang lain”[2].
Disebut watak jika telah berlangsung dan melekat pada diri seseorang.
Secara psikologis dan socio-cultural
pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks
interaksi social kultural (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat)
dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan socio-cultural tersebut dapat dikelompokkan dalam
olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual
development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic
development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity
development).
Olah
hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan menghasilkan
karakter jujur dan bertanggung jawab.
Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan
pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas. Olah raga berkenaan
dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan
aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan sikap bersih, sehat, dan menarik. Olah
rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam
kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan menghasilkan kepedulian dan kreatifitas.
Bagi suatu bangsa, karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang
melekat pada setiap individu warga negara dan kemudian mengejawantah sebagai
personalitas dan identitas kolektif bangsa. Karakter berfungsi sebagai kekuatan
mental dan etik yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita
kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan komparatif, kompetitif, dan
dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Manusia Indonesia
yang berkarakter kuat adalah manusia yang memiliki sifat-sifat: religious, moderat, cerdas, dan mandiri.
1. Religius:
yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian taat
beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran.
2. Moderat : yang dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan
tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial,
berorientasi materi dan ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam
kemajemukan.
3. Cerdas : yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian yang
rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju.
4. Mandiri : yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian merdeka,
disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan
memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai
kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
C.
Dampak
Globalisasi Dan Perkembangan Teknologi Terhadap Kader GP Ansor
Globalisasi dan teknologi telah membuat dunia
semakin terbuka akan berbagai informasi dalam waktu yang sangat singkat, karena
globalisasi akan memicu perubahan pada tatanan kehidupan sesuai dengan
karakteristiknya. Tentunya strategi dan implementasi yang tepat dalam merespon
tantangan menjadi sangat penting. Salah satu unsur pembangunan tersebut yakni
sumberdaya manusia, disamping Indonesia memiliki sumberdaya alam yang tak
terukur.
Saat ini, terjadi krisis karakter dengan
melihat bentuk yang sangat jelas. Hal ini bisa terlihat dari korupsi yang makin
menggeliat, baik terlihat dengan kasat mata maupun sembunyi, perekonomian yang
kembang kempis, konflik horizontal, kekerasan atas nama agama, karakter anarki,
dsb. Proses pelemahan ini terjadi karena rapuhnya sebagai bangsa yang berkarakter
dan tidak mengindahkan nilai-nilai. “GP Ansor memiliki peran penting untuk
membangun karakter yang sudah mulai rapuh ini”. Kita perlu SDM unggul untuk
menjadi obat penawar bagi bangsa Indonesia.
Rasa dan semangat kebangsaan merupakan hal yang
tidak bisa dipisahkan, karena satu sama lain saling berhubungan. Manifestasinya
adalah muncul rasa cinta tanah air dan semangat solidaritas yang tinggi.
“Memang tak mudah untuk membangun hal itu, namun saat ini pendidikan tersebut
benar-benar dibutuhkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas”.
Kader GP Ansor diharapkan mampu menjadi pelopor
utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. GP Ansor lahir
bukan karena partai dan penguasa, melainkan karena ada semacam kegelisahan dan
aksi protes terhadap kondisi negeri yang tidak kunjung sembuh. Sebagai
organisasi yang dilahirkan
dari rahim Nahdlatul Ulama
(NU) , GP Ansor
diharapkan mampu berperan dalam pembentukan masyarakat yang kritis terhadap
zaman, korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di masyarakat, dan sikap
konstruktif untuk memperbaiki keadaan sebagai jalan lain dari kemunduran.
“Itulah pendidikan yang harus deimplementasikan sesungguh-sungguhnya.
D.
Fungsi Kader GP Ansor Dalam Pengembangan Karakter Kebangsaan
Fungsi pengembangan keterampilan organisasi dan
kepemimpinan pemuda merupakan hal yang penting. Hal ini disebabkan pemuda,
selain calon penerus
dan penyempurna misi risalah Ilahiah, juga calon pemimpin bangsa di masa depan. Menurut Hasan
Al-Banna, perbaikan suatu umat tidak akan terwujud kecuali dengan perbaikan
individu, yang dalam hal ini adalah pemuda. Perbaikan individu (pemuda) tidak
akan sukses kecuali dengan perbaikan jiwa. Perbaikan jiwa tidak akan berhasil
kecuali dengan pendidikan dan pembinaan. Yang dimaksud dengan pembinaan adalah
membangun dan mengisi akal dengan ilmu yang berguna, mengarahkan hati lewat
do’a, serta memompa dan menggiatkan jiwa lewat instropeksi
diri.
Persoalan yang dianggap urgen dari kehidupan
kader adalah ketika mereka harus menghadapi globalisasi yang ditandai dengan
tuntutan demokratisasi dan persaingan. Demokrasi menjadi salah satu tuntutan
masyarakat dunia, sebab demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan
rasional terbaik. Tuntutan terhadap demokratisasi di Indonesia juga semakin
menguat semenjak reformasi. Tuntutan kebebasan berpendapat, penegakan hukum,
perlindungan terhadap HAM, keterbukaan, merupakan indikator dari demokrasi.
Oleh karena itu sebagai calon pemimpin, kader GP Ansor dituntut untuk lebih
memahami, dan sekaligus mampu menjalankan prinsip dan nilai-nilai demokrasi.
Meskipun gerakan reformasi tahun 1998 dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa,
belum semua pemuda paham tentang demokrasi. Berbagai konflik antar mereka pada
saat pemilihan pimpinan organisasi, demontrasi yang berujung pada tindakan yang
anarkis mengindikasikan bahwa belum semua pemuda paham tentang demokrasi.
Berdasarkan pada kondisi tersebut, salah satu
pendidikan karakter yang harus dikembangkan di kalangan GP Ansor adalah
membangun karakter pemimpin melalui pelatihan-pelatihan secara rutin atau
berskala. Pendidikan karakter pemimpin tersebut ditujukan kepada para elit-elit
pemuda yang menjadi pengurus organisasi kepemudaan.
Pelatihan-pelatihan yang bermutu dan
berkwalitas, diharapkan mampu menambah wawasan mengenai prinsip dan karakter
kepemimpinan bagi para kader GP Ansor, sehingga diharapkan kedepan mereka bisa
menjadi pemimpin-pemimpin yang cerdas, bijak, dan sederhana. Sebagai
implementasi dari nilai-nilai karakter yang telah diperoleh dari materi-materi
yang telah diberikan.
Menurut hemat saya, para pimpinan GP Ansor
diharapkan mampu menjadi contoh “Suri Tauladan” atau model bagi kader Kader GP
Ansor yang lainnya. Dengan demikian, selain ada pengendalian diri agar berbuat
yang lebih baik, mereka juga dicontoh oleh kader GP Ansor yang lain. Dengan
faktor internal dan eksternal inilah mereka akan menampilkan karakter sebagai
kader GP Ansor yang cerdas, jujur, bertangggungjawab, dan memiliki kepedulian
terhadap lingkungan maupun sahabat atau rekanya. Sebagai bentuk apresiasi, penghargaaan
dan sekaligus motivasi kepada para kader GP Ansor.
E.
Membangun Karakter Kader GP Ansor Yang Berefleksi Dan Bercerdas
Membangun
karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga
berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. “Proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi
karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant”[3].
Diperlukan refleksi
mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan
ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan
praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu
menjadi custom
(kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seorang kader GP Ansor.
Kader
GP Ansor itu harus berfikir dan berbuat berdasarkan kausalitas, melihat sebab
akibat suatu peristiwa, sehingga tepat dalam menentukan atau memberikan
pernyataan. Berfikir dan bertindak kausalitas, itulah yang dikatakan positive
thinking. Positive thinking itu adalah cirinya manusia intelek. Kemudian
dari positive thinking itu manusia berbuat dengan terencana, terarah dan
efesien.
Terbentuknya karakter manusia ditentukan oleh dua faktor,
yaitu nature (faktor
alami atau fitrah) dan nurture (melalui sosialisasi dan
pendidikan). Faktor
lingkungan yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi dapat menentukan
”hasil” seperti apa nanti yang dihasilkannya dari seorang anak. Jadi karakter
seseorang atau individu kader GP Ansor dapat dibentuk dari pengasuhan,
pendidikan, dan sosialisasi positif dari lingkungannya. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity)
dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan
merupakan karakteristik dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor
biologis maupun faktor sosial psikologis. Setiap individu tentunya memiliki
karakter yang berbeda-beda. Perbedaan karakter individu tersebut disebababkan
oleh banyak hal, seperti lingkungan, biologis individu, polah asuh, budaya, dan
lain sebagainya. Nurture dan nature merupakan
istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dalam hal
fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan.
Karakter
terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen
dasar kita (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai,
paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup
(apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan perjalanan (apa yang telah kita
alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan). Helen Keller (1904)
mengungkapkan “Character cannot be develop in ease and quite.
Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened,
vision cleared, ambition inspired, and success achieved”. Sehingga
dengan karakter yang telah dibangun dengan kokoh, bisa menjadikan seorang
individu tidak mudah dikuasai oleh seseorang ataupun kondisi tertentu.
F.
Peran Kader GP Ansor Dalam Mengembangkan Karakter Kebangsaan
Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan
kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam
perkembangan masyarakat Indonesia. GP Ansor mampu mempertahankan eksistensi
dirinya, mampu mendorong percepatan mobilitas
sosial, politik dan kebudayaan bagi anggotanya, serta mampu
menunjukkan kualitas peran maupun kualitas keanggotaannya. GP Ansor tetap eksis
dalam setiap episode sejarah perjalan bangsa dan tetap menempati posisi dan
peran yang stategis dalm setiap pergantian kepemimpinan nasional.
Penghujung tahun 1960-an adalah merupakan dari
babakan sejarah perjalanan panjang rezim Orde Baru. Sebuah rezim yang runtuh
dipenghujung abad 20 lalu, terutama disaat munculnya tuntutan reformasi.
GP Ansor merupakan salah satu organisasi pemuda
yang ikut berperan dalam menurunkan rezim Orde Baru. Sehingga puncak klimaknya
pada penghujung abad 20, rezim Orde Baru dapat dilengserkan. Setelah turunya
rezim Orde Baru, maka menjadi sangat urgen untuk membenahi tata pemerintahan
serta perlunya pembentukan karakter kebangsaan.
“Pembangunan karakter
membentuk peradaban unggul jelas merupakan tanggung jawab semua pihak. Dalam hal
ini, pihak keluarga, sekolah,
masyarakat, pemerintah, dan tentu saja juga berbagai organisasi kemasyarakatan, termasuk gerakan dan organisasi kepemudaan”[4].
Meskipun organisasi kepemudaan bukanlah satu-satunya institusi dalam
pembangunan karakter, tetapi menurut hemat saya (gerakan) Pemuda sebagai kelas
menengah yang terdidik memiliki keberpihakan yang jelas, intelektualitas yang
mumpuni, dan sensitivitas yang tinggi untuk menyentuh persoalan-persoalan riil
masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh Kader GP Ansor dalam rangka menumbuhkan karakter yang visioner.
Pertama, perlu dilakukan penguatan
peran pemuda sebagai kader GP Ansor. Kader GP Ansor perlu berefleksi tentang
peran dan tugas mereka sebagai generasi penerus, tetapi harus mampu memainkan
peranan penting sebagai iron stock yang melanjutkan perjalanan bangsa.
Kedua orientasi pergerakan kader GP Ansor yang
mencerdaskan. Menurut hemat saya munculnya gerakan pemuda yang mewujud
sebagai labeling identitas simbolik dan aktivitas “daripada tidak”,
disebabkan pemuda gagal memaknai gerakan dan mendefinisikan “musuh” yang
dilawan. Dan karena “tidak mau susah”, akhirnya aktivis pemuda terjebak pada
aktivititas seremonial. Para Kader GP Ansor semestinya bisa memainkan perannya
dalam mendorong dan mengisi aktivitas gerakan dengan basis material yang kuat,
keberpihakan yang jelas, intelektualitas yang mumpuni, dan sensitivitas yang
tinggi untuk menyentuh persoalan-persoalan riil masyarakat. Kualitas demikian
hanya mungkin dicapai dalam sistem dan kultur aktivitas gerakan yang
mencerdaskan yang memberikan ruang bagi kebebasan nalar dan pikiran serta
mentalitas Kader.
Aktivitas kader GP Ansor semestinya dapat
meramu berbagai programnya dengan berorientasi pada olah hati, olah pikir, olah
raga dan kinestetik, dan olah rasa dan karsa. Sehingga muncul
karakter kader yang jujur dan bertanggung jawab, cerdas, sikap bersih, sehat,
dan menarik, serta memiliki kepedulian dan kreatifitas.
Ketiga, dalam skala yang lebih luas, GP Ansor atau Kader
GP Ansor dapat menjalin kerjasama dengan berbagai institusi untuk mengakselerasikan pembentukan karakter pada berbagai segmen, lapisan, dan tingkatan
masyarakat. Karena, bagaimanapun, seperti telah dikemukakan di atas, pembentukan karakter dapat sukses hanya jika seluruh komponen masyarakat dan bangsa
terlibat.
G.
Gotong Royong Merupakan Karakter Bangsa Indonesia Yang Harus
Dilestarikan Oleh Kader GP Ansor
Gotong
Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia
dari zaman dahulu sampai sekarang ini. Rasa kebersamaan ini muncul, karena
adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan
beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong
royong ini karena di negara lain tidak ada sikap ini dikarenakan saling acuh
tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya.
Ini
merupakan sikap positif yang harus di lestarikan agar bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang kokoh & kuat di segala lini. Tidak hanya dipedesaan bisa kita
jumpai sikap gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai
dengan mudah walaupun presentasenya lebih kecil. Karena secara culture,budaya
tersebut memang sudah di tanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa.
Karena
ini merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari sabang
hingga merauke, walaupun berbeda agama, suku & warna kulit tapi kita tetap
menjadi kesatuan yang kokoh. Inilah salah satu budaya bangsa yang membuat
Indonesia, di puja & puji oleh bangsa lain karena budayanya yang unik &
penuh toleransi antar sesama manusia.
Membangun
peradaban sebuah bangsa harus dilakukan dengan membangun budi
pekerti serta membangkitkan semangat kebersamaan. Seperti yang
telah dilakukan oleh para agamawan dan tokoh-tokoh generasi pendiri NKRI.
Menurut Bung Karno, Indonesia bila ingin kembali berjaya seperti Sriwijaya dan
Majapahit tidak bisa hanya dilakukan oleh satu golongan saja, tetapi
harus dilakukan secara bersama oleh semua komponen bangsa dengan
melibatkan masyarakat.
Nilai-nilai
dasar Pancasila sangat penting untuk selalu dimaknai kembali, karena generasi
di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar
yang mempersatukan Indonesia.
Indonesia
merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu.
Setelah reformasi semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu
penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup
untuk partsipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
“Di
beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong
warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan
uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup
titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan”[5].
Program
pemerintah dengan bantuan beras miskin (raskin) yang kurang tepat sasaran
dan dilaksanakan tanpa sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah
menjadikan alasan beberapa kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin,
sedang mereka merasa miskin, akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti.
Dalam
banyak peristiwa terorisme belakangan ini salah satu penyebabnya adalah tidak
berjalannya pengawasan masyarakat adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong
royong. Dengan kurangnya semangat gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak
peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Gotong royong adalah pola
pertahanan terbaik dalam masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat
komunikasi yang efektif.
Yang
masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat
Indonesia sendiri. Dalam hal ini, GP Ansor sebagai Organisasi kepemudaan
diharapkan mampu menanamkan prinsip kebersamaan kepada para kadernya. Sehingga
dengan ditanamkanya prinsip kebersamaan, para kader GP Ansor mampu menumbuhkan
semangat gotong royong terhadap sesama.
Intinya
yaitu kader GP Ansor harus mampu menerapkan dan mengaplikasikan prinsip
kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat. Melalui prinsip kebersamaan, para kader GP Ansor diharapkan
mampu menjadi penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetap menjaga semangat
kegotongroyongan di dalam kehidupan bermasyarakat dan berkebangsaan.
H.
Penutup
Dalam
melakukan interaksi sosial, seluruh anggota masyarakat menciptakan suatu sistem
nilai dan norma. Sistem nilai dan norma tersebut berfungsi sebagai
acuan/pedoman dalam melakukan segala aktivitas di masyarakat. Begitu juga
dengan para kader GP Ansor yang mana tanpa adanya norma, kader GP Ansor cenderung
melakukan peran sosial semaunya sendiri. Hal tersebut akan berdampak timbulnya
ketidakseimbangan sosial. Sistem norma yang telah ada tidak serta merta akan
membentuk para kader yang tertib, seimbang dan harmonis. Namun untuk itu
diperlukan adanya “kesadaran sosial bagi seluruh anggota Kader Ansor”.
Membangun
karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga
berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.
Proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah
mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat
rentetan moral
choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata
sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu
untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk
watak atau tabiat seorang kader GP Ansor.
GP Ansor merupakan salah satu organisasi pemuda
yang ikut berperan dalam menurunkan rezim Orde Baru. Sehingga puncak klimaknya
pada penghujung abad 20, rezim Orde Baru dapat dilengserkan. Setelah turunya
rezim Orde Baru, maka menjadi sangat urgen untuk membenahi tata pemerintahan
serta perlunya pembentukan karakter kebangsaan Khususnya bagi kader GP Ansor
itu sendiri.
Karakter seseorang atau individu kader GP Ansor dapat
dibentuk dari pengasuhan, pendidikan, dan sosialisasi positif dari
lingkungannya. Setiap individu
memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang
diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan
karakteristik dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun
faktor sosial psikologis. Setiap individu tentunya memiliki karakter yang
berbeda-beda. Perbedaan karakter individu tersebut disebababkan oleh banyak
hal, seperti lingkungan, biologis individu, polah asuh, budaya, dan lain
sebagainya. Nurture dan nature merupakan
istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik individu dalam hal
fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan.
Yang
masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat
Indonesia sendiri. Dalam hal ini, GP Ansor sebagai Organisasi kepemudaan
diharapkan mampu menanamkan prinsip kebersamaan kepada para kadernya di dalam
atau luar arena pengkaderan. Sehingga dengan ditanamkanya prinsip kebersamaan,
diharapkan para kader GP Ansor mampu menumbuhkan semangat gotong royong
terhadap sesama.
I.
Daftar Pustaka
1.
Kementerian Pendidikan Nasional, Rencana
Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta, 2010.
2.
Dasim Budimansyah, Penguatan Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press,
2010, hal 30.
3. Mubiar Purwasasmita,
“Memaknai Konsep Alam Cerdas dan kearifan Nilai Budaya Lokal dalam
Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam Prosiding seminar Aktualisasi
Pendidikan Karakter, Bandung: Widya Aksara Press, 2010
[1] Kementerian Pendidikan Nasional, Rencana
Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta, 2010
[3] Dasim
Budimansyah, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter
Bangsa, Bandung: Widya Aksara Press, 2010, hal 30.
[4] Mubiar Purwasasmita, “Memaknai Konsep Alam
Cerdas dan kearifan Nilai Budaya Lokal dalam Pendidikan Karakter Bangsa”, dalam
Prosiding seminar Aktualisasi Pendidikan Karakter, Bandung: Widya Aksara
Press, 2010